Selasa, 17 November 2015

Makalah Mikrobiologi Kesmas Unsoed Semester 2 "Salmonella typhi Bakteri Enteropatogenik Penyebab Demam Tifoid"

Diposting oleh Unknown di 18.17


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Demam tifoid, juga dikenal sebagai demam enterik, adalah penyakit multisistemik fatal terutama disebabkan oleh Salmonella typhi. Manifestasi protean demam tifoid membuat penyakit ini menjadi tantangan diagnostik benar. Presentasi klasik mencakup demam, malaise, sakit perut menyebar, dan sembelit. Tidak diobati, demam tifoid adalah penyakit melelahkan yang dapat berkembang menjadi delirium, obtundation, perdarahan usus, perforasi usus, dan kematian dalam waktu satu bulan onset. Korban dapat dibiarkan dengan komplikasi neuropsikiatri jangka panjang atau permanen.

S. typhi telah menjadi patogen utama manusia selama ribuan tahun, berkembang dalam kondisi sanitasi yang buruk, kelebihan populasi, dan kekacauan sosial. Hal itu mungkin karena bertanggung jawab atas Wabah Besar Athena pada akhir Perang Pelopennesian. Typhi Nama S berasal dari typhos Yunani kuno, sebuah asap halus atau awan yang diyakini menyebabkan penyakit dan kegilaan. Pada tahap lanjutan dari demam tifoid, tingkat pasien kesadaran benar-benar mendung. Meskipun antibiotik telah nyata mengurangi frekuensi demam tipus di negara maju, tetap endemik di negara berkembang masih saja terjadi.
Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adalah komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H adalah protein labil panas. Kuman ini dapat hidup lama di air yang kotor, makanan tercemar, dan alas tidur yang kotor. Siapa saja dan kapan saja dapat menderita penyakit ini. Termasuk bayi yang dilahirkan dari ibu yang terkena demam tifoid.  Lingkungan yang tidak bersih, yang terkontaminasi dengan Salmonella typhi merupakan penyebab paling sering timbulnya penyakit tifus. Kebiasaan tidak sehat seperti jajan sembarangan, tidak mencuci tangan menjadi penyebab terbanyak penyakit ini. Penyakit tifus cukup menular lewat air seni atau tinja penderita. Penularan juga dapat dilakukan binatang seperti lalat dan kecoa yang mengangkut bakteri ini dari tempat-tempat kotor.
1.2.  Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat diambil berdasarkan latar belakang di atas yaitu :
1.2.1.      Bagaimana patogenesis dan penularan demam tifoid oleh Salmonella typhi?
1.2.2.      Bagaimana gejala kliniknya?
1.2.3.      Apa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegahnya?

1.3.  Tujuan
1.3.1.      Mengetahui patogenesis dan penularan demam tifoid oleh Salmonella typhi
1.3.2.      Mengetahui gejala klinik demam tifoid
1.3.3.      Mampu mencegah penularan demam tifoid














BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Demam Tifoid
            Penyakit demam tifoid disebut juga dengan Typoid fever atau Typhus abdominalis adalah suatu penyakit sistematik akut disebabkan infeksi Salmonella typhi, yang biasanya terdapat pada saluran pencernan dengan gejala demam yang berkepanjangan (demam lebih dari satu minggu), gangguan saluran pencernaan dan gangguan kesadaran (Hoffman, S.L, 1991).
2.2. Distribusi Demam Tifoid
2.2.1. Distribusi Menurut Tempat
            Penyakit demam tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak bergantung pada keadaan iklim (Juwono R, 1987). Di negara maju angka kejadiannya 1 per 100.000 penduduk. Dari laporan WHO terdapat 16 juta kasus demam tifoid pertahun dengan 600 ribu kematian di negara berkembang. Angka kematian bervariasi mulai dari 150 per 100.000 penduduk pertahun di Amerika Selatan sampai sekitar 1.000 per 100.000 penduduk pertahun di negara-negara Asia dan yang tertinggi di Papua New Guinea 1.208 per 100.000 penduduk pertahun (Margawani RK, 1996). Penyakit ini erat kaitannya dengan kebersihan lingkungan, penyediaan air bersih, pengolahan dan penyajian makanan serta hygien perorangan. Merupakan penyakit endemik di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, baik di perkotaan dan pedesaan. Kebersihan perorangan yang buruk merupakan sumber penyakit ini meskipun lingkungan hidup umumnya baik. Perbaikan sanitasi dan penyediaan air yang bersih dapat mengurangi penyebaran demam tifoid (Soedarto, 1993).
2.2.2. Distribusi Menurut Waktu
            Di Indonesia demam tifoid ditemukan sepanjang tahun. Tidak ada persesuaian faham mengenai hubungan antara musim dan peningkatan jumlah kasus demam tifoid. Di daerah endemis ada peneliti mendapatkan insidens demam tifoid meningkat pada musim panas yang panjang atau pada musim hujan, karena pada musim seperti itu terjadi peningkatan populasi lalat yang berperan sebagai vektor demam tifoid. Ada juga peneliti yang mendapatkan peningkatan insidens demam tifoid pada peralihan anatara usim panas dan musim hujan (Juwono R, 1987).
2.2.3. Distribusi Menurut Orang
            Distribusi menurut umur, di daerah endemis insidens tertinggi demam tifoid terjadi pada anak-anak. Orang dewasa serin mengalami infeksi ringan yang sembuh sendiri dan menjadi kebal. Insidens pada penderita berumur 12-30 tahun 70-80%, 30-40 tahun 10-20% dan umur di atas 40 tahun hanya 5-10% (Juwono R, 1987).
            Distribusi menurut jenis kelamin, tidak ada perbedaan nyata antara insidens demam tifoid pada pria dan wanita.
2.3.Etiologi
            Penyebab demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi. Salmonella typhi adalah motil, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, batang garam negatif. Kebanyakan strain meragi glukosa, manosa, dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi mereka tidak meragi laktosa atau sukrosa. S. typhi tidak menghasilkan gas. Organisme ini tumbuh secara aerobik fakultatif. Mereka resisten terhadap banyak agen fisik tetapi dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 1300F (54,40C) selama 1 jam atau 1400F (600C) selama 15 menit. Mereka tetap dapat hidup pada suhu sekeliling atau suhu rendah selama beberapa hari dan bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering, agen farmakeutika dan bahan tinja. (Behrman, Kliegman dan Arvin, 1996)
            S. typhi mempunyai bagian-bagian sebagai berikut :
a. Flagela : membantu motilitas dan virulensi
b. Fimbria (type I pili) dan MRHA (Mannose Resistant Haemagglutinin) : untuk melekat pada permukaan usus.
c. Invasin : suatu kompleks protein untuk masuk ke dalam sel host.
d. Lipopoisakharida (LPS) : dinding bakteri memberikan perlindungan terhadap lingkungan yang merugikan.
e. Plasmid : dapat memberikan kemampuan resistensi terhadap obat-obatan.
f. PhoQ, PhoP, pag : gen-gen yang mampu mengetahui suasana lingkungan, bertahan dalam sel dan juga membantu sifat keganasan.
g. Gen lain : aro, pur, cya, untuk metabolisme bakteri (Punjabi, 1996).

2.4. Masa Inkubasi
            Masa inkubasi adalah waktu dari mulai masuknya bibit penyakit sampai timbulnya gejala. Masa inkubasi penyakit demam tifoid berlangsung 7-21 hari, umumnya 10-12 hari.
2.5. Sumber Penularan
2.5.1. Penderita Demam Tifoid
            Manusia adalah host yang bereaksi dengan gejala klinis khas demam tifoid setelah mendapat penularan S. typhi. Manusia menjadi sumber utama infeksi yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit demam tifoid, baik ketika sakit atau ketika masa penyembuhan. Pada masa penyembuhan S.typhi masih terkandung di dalam empedu dan ginjal penderita. Sebanyak 5% dari penderita demam tifoid akan menjadi carier sementara, sedangkan 2% diantaranya jadi carier menahun. (Soedarto, 1993).
2.5.2 Carier Demam Tifoid
            Dikenal 3 tipe carier demam tifoid yaitu :
1.    Carier akut yaitu penderita yang sedang dalam masa penyembuhan masih mengeluarkan basil tifoid melalui tinjanya sampai 6 bulan sejak terinfeksi.
2.    Carier kronis yaitu penderita telah sembuh tapi masih mengandung dan mengeluarkan organisme S.typhi dalam tinjanya selama bertahun-tahun. Organisme ini tetap ada di kandung empedu, saluran usus dan renal pelvic.  
3.    Orang yang sering kontak dengan carier atau carier yang tampanknaya sehat adalah mereka yang tidak mempunyai riwayat serangan demam tifoid sebelumnya tetapi mengeluarkan basil tifoid melalui tinja dan urinnya.
2.6. Makanan dan Minuman Terkontaminasi sebagai Media Perantara Penyebaran
            Dipengaruhi oleh bebrapa faktor, antara lain :
a.    Suhu lingkungan : menentukan keselamatan hidup dan daya multiplikasi baktei.
b.    Makanan/minuman : terutama yang berprotein tinggi seperti susu, telur, aging, ikan, dan kerang. Meskipun demikian sayuran dan buah-buahan juga dapat sebagai media S.typhi dengan daya multiplikasi yang lebih lambat.
c.    Kelembaban : sangat dibutuhkan bakteri untuk tumbuh, oleh sebab itu makanan kering seperti gula, terigu, biskuit dan jenis makanan yang dibakar kering lainnya bukan media yang baik untuk multiplikasi bakteri.
Proses kontaminasi makanan/minuman didukung oleh faktor lain, seperti :
a.    Orang terlibat langsung dengan pengolahan/penanganan bahan makanan, meliputi : kesehatan, pengetahuan dan kesadarannya pada masalah kesehatan dan kebersihan lingkungan. S.typhi sering ditemukan pada tangan penjagal, pisau, papan potong, meja dan kaos tangan penjamah daging dan S.typhi dapat bertahan hidup pada ujung-ujung jari tangan minimal selama 10 menit.
b.    Lingkungan, meliputi vektor (rodensia, insekta), sampah, kotoran (manusia). Vektor lalat dan tikus biasanya berasal dari lingkungan sekitar tempat tinggal terutama sanitasi lingkungannya jelek seperti tumpukan sampah yang terbuka dan pembuangan kotoran manusia di sembarang tempat.
c.    Prinsip kontrol terhadap bahan makanan serta sarana pengolahannya, meliputi perlengkapan dan peralatan yang digunakan dan sistem pengolahan bahan makanan (pemanasan, pendinginan, pengasapan, dll). S.typhi mampu hidup pada peralatan dapur sampai beberapa jam walaupun dalam keadaan kering (Apiwathnason, 1990).
d.   Air : S.typhi sering ditemukan dalam air limbah, air mengalir, irigasi, sumur, air pasang surut dan dapat hidup dalam air mentah lebih daro seminggu sehingga dapat sebagai sumber pencemaran makanan/minuman. Masuknya bakteri patogen ke dalam air umumnya melalui pencemaran tinja.
e.    Tanah : tanah mengandung miroorganisme dapat mengkontaminasi makanan/minuman dengan cara terikut pada sayuran/buah-buahan terutama yang dipupuk kompos, melalui makanan/minuman dibungkus kertas/plastik yang terkontaminasi dan lewat alat-alat makan/minum seperti sendok. Salah satu cara pencemaran air oleh bakteri dengan jalan penetrasi melalui pori-pori tanah.
2.7. Patogenesis
            Patogenesis demam tifoid secara garis besar terdiri dari 3 proses, yaitu (1) proses invasi kuman S.typhi ke dinding sel epitel usus, (2) proses kemampuan hidup dalam makrofag dan (3) proses berkembang biaknya kuman dalam makrofag. Akan tetapi tubuh mempunyai beberapa mekanisme pertahanan untuk menahan dan membunuh kuman patogen ini, yaitu dengan adanya (1) mekanisme pertahanan non spesifik di saluran pencernaan, baik secara kimiawi maupun fisik, dan (2) mekanisme pertahanan spesifik yaitu kekebalan tubuh humoral dan selular.
            Masa inkubasi penyakit ini rata-rata 7 sampai 14 hari. Manifestasi klinik pada anak umumnya bervariasi. Demam adalah gejala yang paling utama di antara semua gejala klinisnya. Pada minggu pertama, tidak ada gejala khas dari penyakit ini. Bahkan, gejalanya menyerupai penyakit infeksi akut lainnya. Gejala yang muncul antara lain demam, sering bengong atau tidur melulu, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun, sakit perut, diare atau justru sembelit (sulit buang air besar) selama beberapa hari. Peningkatan suhu bertambah setiap hari. Setelah minggu kedua, gejala bertambah jelas. Demam yang dialami semakin tinggi, lidah kotor, bibir kering, kembung, penderita terlihat acuh tidak acuh, dan lain-lain.
S. typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus.  Setelah mencapai usus, Salmonella typhi menembus ileum ditangkap oleh sel mononuklear, disusul bakteriemi I. Setelah berkembang biak di RES, terjadilah bakteriemi II. Interaksi Salmonella dengan makrofag memunculkan mediator-mediator. Lokal (patch of payer) terjadi hiperplasi, nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul gejala panas, instabilitas vaskuler, inisiasi sistem beku darah, depresi sumsum tulang dll. Imunulogi. Humoral lokal, di usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya salmonella pada mukosa usus. Humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis Salmonella oleh makrofag. Seluler berfungsi untuk membunuh Salmonella intraseluler
Banyak orang yang tidak terlihat sakit tapi berpotensi menyebarkan penyakit tifus. Inilah yang disebut dengan pembawa penyakit tifus. Meski sudah dinyatakan sembuh, bukan tidak mungkin mantan penderita masih menyimpan bakteri tifus dalam tubuhnya. Bakteri bisa bertahan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Sebagian bakteri penyebab tifus ada yang bersembunyi di kantong empedu. Bisa saja bakteri ini keluar dan bercampur dengan tinja. Bakteri ini dapat menyebar lewat air seni atau tinja penderita.
2.8. Diagnosis
            Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.
2.8.1. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja.
            Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada S. typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus.
2.8.2. Pemeriksaan Laboratorium Penunjang
            Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (a) pemeriksaan darah tepi; (b) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (c) uji serologis; dan (d) pemeriksaan kuman secara molekuler.
a.    Pemeriksaan Darah Tepi
            Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.

b. Identifikasi Kuman Melalui Isolasi/Biakan
            Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
            Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.
c. Identifikasi Melalui Uji Serologis
            Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.4 Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : uji Widal; tes TUBEX; metode enzyme immunoassay (EIA), metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), dan pemeriksaan dipstik.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).
c.1. Uji Widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
c.2. Metode Enzyme Immunoassay
Metode Enzyme Immunoassay didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.4
Uji EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
c.3. Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.
c.4. Pemeriksaan Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
c.5. Metode Lain
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
2.9. Pencegahan
Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan.
Vaksinasi tifoid sangat dianjurkan untuk mencegah penyakit. Vaksinasi harus diperkuat setiap 3 tahun. Ini karena setelah kurun waktu itu, kekebalan terhadap penyakit tifus akan berkurang. Umumnya, seusai divaksinasi, tubuh akan kebal, atau kalupun terkena maka penyakit yang menyerang tidak sampai membahayakan anak
Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin yang diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua adalah vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Pemberian vaksin tifoid secara rutin tidak direkomendasikan, vaksin tifoid hanta direkomendasikan untuk pelancong yang berkunjung ke tempat-tempat yang demam tifoid sering terjadi, orang yang kontak dengan penderita karier tifoid dan pekerja laboratorium.
Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada anak-anak kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena itu haruslah diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap dua tahun untuk orang-orang yang memiliki resiko terjangkit.
Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anak-anak kurang dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah diperlukan untuk proteksi. Dosis terakhir harus diberikan sekurang-kurangnya satu minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap 5 tahun untuk orang-orang yang masih memiliki resiko terjangkit.
Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus menunggu. Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi) adalah orang yang memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka ia tidak boleh mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah : orang yang mengalami reaksi berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas yang lemah maka tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang menyerang sistem imunitas, orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-obatan yang mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita kanker dan orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian antibiotik.
Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem serius seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan bahaya serius atau kematian sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua jenis vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per 100) kemerahan atau pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang per 100). Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah demam atau sakit kepada (5 orang per 100), perut tidak enak, mual, muntah-muntah atau ruam-ruam (jarang terjadi).
2.10. Pengobatan
Pengobatan terhadap penderita penyakit demam Tifoid atau types bertujuan menghentikan invasi kuman, memperpendek perjalanan penyakit, mencegah terjadinya komplikasi, serta mencegah agar tak kambuh kembali. Pengobatan penyakit tifus dilakukan dengan jalan mengisolasi penderita dan melakukan desinfeksi pakaian, faeces dan urine untuk mencegah penularan. Pasien harus berbaring di tempat tidur selama tiga hari hingga panas turun, kemudian baru boleh duduk, berdiri dan berjalan.
Selain obat-obatan yang diberikan untuk mengurangi gejala yang timbul seperti demam dan rasa pusing (Paracetamol), Untuk anak dengan demam tifoid maka pilihan antibiotika yang utama adalah kloramfenikol selama 10 hari dan diharapkan terjadi pemberantasan/eradikasi kuman serta waktu perawatan dipersingkat. Namun beberapa dokter ada yang memilih obat antibiotika lain seperti ampicillin, trimethoprim-sulfamethoxazole, kotrimoksazol, sefalosporin, dan ciprofloxacin sesuai kondisi pasien. Demam berlebihan menyebabkan penderita harus dirawat dan diberikan cairan Infus.



















BAB 3
PENUTUP
3.1.  Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa :
1.3.4.      Patogenesis demam tifoid secara garis besar terdiri dari 3 proses, yaitu proses invasi bakteri S.typhi ke dinding sel epitel usus, proses kemampuan hidup dalam makrofag dan proses berkembang biaknya kuman dalam makrofag. Demam tifoid dapat ditularkan melalui penderita, carrier, serta makanan dan minuman yang terkontaminasi S.typhi.
3.1.2.      Gejala yang muncul antara lain demam, sering bengong atau tidur melulu, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun, sakit perut, diare atau justru sembelit (sulit buang air besar) selama beberapa hari.
3.1.3.      Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara yaitu umum dan khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan sanitasi, menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi.

3.2.  Saran
3.2.2.      Untuk Dinas Kesehatan
a.       Perlu adanya penyuluhan kesehatan kepada masyarakat tentang demam tifoid berhubungan dengan higien perorangan.
b.      Perlu dilakukan pemeriksaan kualitas air minum secara berkala pada masyarakat, terutama pada penjual makanan/minuman kaki lima.
c.       Perlu dibuat pemetaan dan pengawasan terhadap carrier demam tifoid.
3.2.3.      Untuk Rumah Sakit
Penderita demam tifoid sebelum pulang diberi brosur atau pengertian tentang penyakitnya dan cara pencegahan agar tidak menularkan ke orang lain.
3.2.4.      Untuk Masyarakat
Perlu ditingkatkan kegiatan gotong-royong membersihkan lingkungan sekitar tempat tinggal guna mengurangi vektor lalat.
DAFTAR PUSTAKA
Apiwathnasorn, C, dkk.1990. Report on A Study of Food Practices Kampung Langgar, Kota Baru Kelantan, Malaysia. University of Queensland.
Behrman, Kliegman, dan Arvin. 1996. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol. II E/15, diterjemahkan Sanik Wahab. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hoffman, S.L, 1991. Typhoid Fever In : Hunter’s Tropical Medicine, Ed. : Stricland, G.T, 7 th, ed. WB Saunders Co. Philadelphia, Toronto, Tokyo.
Juwono, R. 1987. Demam Tifoid Ilmu Penyakit dalam Jilid I Soeparman Edisi Kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Margawani, K.R, Sri Purnomo. 1996. “Epidemiologi Salmonellosis”. Jurnal Jaringan Epidemiologi Nasional. No. 2 : 1-8.
Prasetyo, Risky Vitria dan Ismoedijanto. “Metode Diagnostik Demam Tifoid Pada Anak”. Pediatrik. hlm : 3-9.
Punjabi, N.H, 1996. Interaksi Pejamu dengan Salmonella typhi. Medika. No. 10 tahun XXII : 795-797.
Soedarto. 1993. Penyakit-penyakit Infeksi di Indonesia. Surabaya : hlm.43-49.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Titis Marhening Tresnawaty Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea