BAB 1
PENDAHULUAN
Demam
tifoid, juga dikenal sebagai demam enterik, adalah penyakit multisistemik fatal
terutama disebabkan oleh Salmonella typhi.
Manifestasi protean demam tifoid membuat penyakit ini menjadi tantangan
diagnostik benar. Presentasi klasik mencakup demam, malaise, sakit perut
menyebar, dan sembelit. Tidak diobati, demam tifoid adalah penyakit melelahkan
yang dapat berkembang menjadi delirium, obtundation, perdarahan usus, perforasi
usus, dan kematian dalam waktu satu bulan onset. Korban dapat dibiarkan dengan
komplikasi neuropsikiatri jangka panjang atau permanen.
S. typhi telah menjadi patogen utama
manusia selama ribuan tahun, berkembang dalam kondisi sanitasi yang buruk,
kelebihan populasi, dan kekacauan sosial. Hal itu mungkin karena bertanggung
jawab atas Wabah Besar Athena pada akhir Perang Pelopennesian. Typhi Nama S berasal dari typhos Yunani kuno, sebuah asap halus
atau awan yang diyakini menyebabkan penyakit dan kegilaan. Pada tahap lanjutan
dari demam tifoid, tingkat pasien kesadaran benar-benar mendung. Meskipun
antibiotik telah nyata mengurangi frekuensi demam tipus di negara maju, tetap
endemik di negara berkembang masih saja terjadi.
Salmonella
memiliki
antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adalah komponen
lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H
adalah protein labil panas. Kuman ini dapat hidup lama di air yang kotor,
makanan tercemar, dan alas tidur yang kotor. Siapa saja dan kapan saja dapat
menderita penyakit ini. Termasuk bayi yang dilahirkan dari ibu yang terkena
demam tifoid. Lingkungan yang tidak bersih, yang terkontaminasi dengan Salmonella typhi merupakan penyebab
paling sering timbulnya penyakit tifus. Kebiasaan tidak sehat seperti jajan
sembarangan, tidak mencuci tangan menjadi penyebab terbanyak penyakit ini.
Penyakit tifus cukup menular lewat air seni atau tinja penderita. Penularan
juga dapat dilakukan binatang seperti lalat dan kecoa yang mengangkut bakteri
ini dari tempat-tempat kotor.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat diambil berdasarkan latar
belakang di atas yaitu :
1.2.1. Bagaimana
patogenesis dan penularan demam tifoid oleh Salmonella
typhi?
1.2.2. Bagaimana
gejala kliniknya?
1.2.3. Apa
upaya yang dapat dilakukan untuk mencegahnya?
1.3. Tujuan
1.3.1. Mengetahui
patogenesis dan penularan demam tifoid oleh Salmonella
typhi
1.3.2. Mengetahui
gejala klinik demam tifoid
1.3.3. Mampu
mencegah penularan demam tifoid
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Demam Tifoid
Penyakit demam tifoid disebut juga
dengan Typoid fever atau Typhus abdominalis adalah suatu penyakit
sistematik akut disebabkan infeksi Salmonella
typhi, yang biasanya terdapat pada saluran pencernan dengan gejala demam
yang berkepanjangan (demam lebih dari satu minggu), gangguan saluran pencernaan
dan gangguan kesadaran (Hoffman, S.L, 1991).
2.2. Distribusi Demam Tifoid
2.2.1.
Distribusi Menurut Tempat
Penyakit demam tifoid terdapat di
seluruh dunia dan penyebarannya tidak bergantung pada keadaan iklim (Juwono R,
1987). Di negara maju angka kejadiannya 1 per 100.000 penduduk. Dari laporan
WHO terdapat 16 juta kasus demam tifoid pertahun dengan 600 ribu kematian di
negara berkembang. Angka kematian bervariasi mulai dari 150 per 100.000
penduduk pertahun di Amerika Selatan sampai sekitar 1.000 per 100.000 penduduk
pertahun di negara-negara Asia dan yang tertinggi di Papua New Guinea 1.208 per
100.000 penduduk pertahun (Margawani RK, 1996). Penyakit ini erat kaitannya
dengan kebersihan lingkungan, penyediaan air bersih, pengolahan dan penyajian
makanan serta hygien perorangan. Merupakan penyakit endemik di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia, baik di perkotaan dan pedesaan. Kebersihan
perorangan yang buruk merupakan sumber penyakit ini meskipun lingkungan hidup
umumnya baik. Perbaikan sanitasi dan penyediaan air yang bersih dapat
mengurangi penyebaran demam tifoid (Soedarto, 1993).
2.2.2.
Distribusi Menurut Waktu
Di Indonesia demam tifoid ditemukan
sepanjang tahun. Tidak ada persesuaian faham mengenai hubungan antara musim dan
peningkatan jumlah kasus demam tifoid. Di daerah endemis ada peneliti
mendapatkan insidens demam tifoid meningkat pada musim panas yang panjang atau
pada musim hujan, karena pada musim seperti itu terjadi peningkatan populasi
lalat yang berperan sebagai vektor demam tifoid. Ada juga peneliti yang
mendapatkan peningkatan insidens demam tifoid pada peralihan anatara usim panas
dan musim hujan (Juwono R, 1987).
2.2.3.
Distribusi Menurut Orang
Distribusi menurut umur, di daerah
endemis insidens tertinggi demam tifoid terjadi pada anak-anak. Orang dewasa
serin mengalami infeksi ringan yang sembuh sendiri dan menjadi kebal. Insidens
pada penderita berumur 12-30 tahun 70-80%, 30-40 tahun 10-20% dan umur di atas
40 tahun hanya 5-10% (Juwono R, 1987).
Distribusi menurut jenis kelamin,
tidak ada perbedaan nyata antara insidens demam tifoid pada pria dan wanita.
2.3.Etiologi
Penyebab demam tifoid adalah bakteri
Salmonella typhi. Salmonella typhi
adalah motil, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, batang garam negatif.
Kebanyakan strain meragi glukosa, manosa, dan manitol untuk menghasilkan asam
dan gas, tetapi mereka tidak meragi laktosa atau sukrosa. S. typhi tidak menghasilkan gas. Organisme ini tumbuh secara
aerobik fakultatif. Mereka resisten terhadap banyak agen fisik tetapi dapat
dibunuh dengan pemanasan sampai 1300F (54,40C) selama 1
jam atau 1400F (600C) selama 15 menit. Mereka tetap dapat
hidup pada suhu sekeliling atau suhu rendah selama beberapa hari dan bertahan
hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering, agen
farmakeutika dan bahan tinja. (Behrman, Kliegman dan Arvin, 1996)
S.
typhi mempunyai bagian-bagian sebagai berikut :
a.
Flagela : membantu motilitas dan virulensi
b. Fimbria (type I pili) dan MRHA (Mannose Resistant Haemagglutinin) :
untuk melekat pada permukaan usus.
c. Invasin : suatu kompleks protein
untuk masuk ke dalam sel host.
d. Lipopoisakharida
(LPS) : dinding bakteri memberikan perlindungan terhadap lingkungan yang
merugikan.
e. Plasmid : dapat memberikan kemampuan
resistensi terhadap obat-obatan.
f. PhoQ, PhoP, pag : gen-gen yang mampu
mengetahui suasana lingkungan, bertahan dalam sel dan juga membantu sifat
keganasan.
g. Gen lain : aro, pur, cya, untuk metabolisme
bakteri (Punjabi, 1996).
2.4. Masa Inkubasi
Masa inkubasi adalah waktu dari
mulai masuknya bibit penyakit sampai timbulnya gejala. Masa inkubasi penyakit
demam tifoid berlangsung 7-21 hari, umumnya 10-12 hari.
2.5. Sumber Penularan
2.5.1.
Penderita Demam Tifoid
Manusia adalah host yang bereaksi
dengan gejala klinis khas demam tifoid setelah mendapat penularan S. typhi. Manusia menjadi sumber utama
infeksi yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit demam tifoid,
baik ketika sakit atau ketika masa penyembuhan. Pada masa penyembuhan S.typhi masih terkandung di dalam empedu
dan ginjal penderita. Sebanyak 5% dari penderita demam tifoid akan menjadi
carier sementara, sedangkan 2% diantaranya jadi carier menahun. (Soedarto,
1993).
2.5.2 Carier Demam
Tifoid
Dikenal 3 tipe carier demam tifoid yaitu :
1. Carier
akut yaitu penderita yang sedang dalam masa penyembuhan masih mengeluarkan
basil tifoid melalui tinjanya sampai 6 bulan sejak terinfeksi.
2. Carier
kronis yaitu penderita telah sembuh tapi masih mengandung dan mengeluarkan
organisme S.typhi dalam tinjanya
selama bertahun-tahun. Organisme ini tetap ada di kandung empedu, saluran usus
dan renal pelvic.
3. Orang
yang sering kontak dengan carier atau carier yang tampanknaya sehat adalah
mereka yang tidak mempunyai riwayat serangan demam tifoid sebelumnya tetapi
mengeluarkan basil tifoid melalui tinja dan urinnya.
2.6. Makanan dan Minuman
Terkontaminasi sebagai Media Perantara Penyebaran
Dipengaruhi oleh bebrapa faktor,
antara lain :
a. Suhu
lingkungan : menentukan keselamatan hidup dan daya multiplikasi baktei.
b. Makanan/minuman
: terutama yang berprotein tinggi seperti susu, telur, aging, ikan, dan kerang.
Meskipun demikian sayuran dan buah-buahan juga dapat sebagai media S.typhi dengan daya multiplikasi yang
lebih lambat.
c. Kelembaban
: sangat dibutuhkan bakteri untuk tumbuh, oleh sebab itu makanan kering seperti
gula, terigu, biskuit dan jenis makanan yang dibakar kering lainnya bukan media
yang baik untuk multiplikasi bakteri.
Proses
kontaminasi makanan/minuman didukung oleh faktor lain, seperti :
a. Orang
terlibat langsung dengan pengolahan/penanganan bahan makanan, meliputi :
kesehatan, pengetahuan dan kesadarannya pada masalah kesehatan dan kebersihan
lingkungan. S.typhi sering ditemukan
pada tangan penjagal, pisau, papan potong, meja dan kaos tangan penjamah daging
dan S.typhi dapat bertahan hidup pada
ujung-ujung jari tangan minimal selama 10 menit.
b. Lingkungan,
meliputi vektor (rodensia, insekta), sampah, kotoran (manusia). Vektor lalat
dan tikus biasanya berasal dari lingkungan sekitar tempat tinggal terutama
sanitasi lingkungannya jelek seperti tumpukan sampah yang terbuka dan
pembuangan kotoran manusia di sembarang tempat.
c. Prinsip
kontrol terhadap bahan makanan serta sarana pengolahannya, meliputi
perlengkapan dan peralatan yang digunakan dan sistem pengolahan bahan makanan
(pemanasan, pendinginan, pengasapan, dll). S.typhi
mampu hidup pada peralatan dapur sampai beberapa jam walaupun dalam keadaan
kering (Apiwathnason, 1990).
d. Air
: S.typhi sering ditemukan dalam air
limbah, air mengalir, irigasi, sumur, air pasang surut dan dapat hidup dalam
air mentah lebih daro seminggu sehingga dapat sebagai sumber pencemaran
makanan/minuman. Masuknya bakteri patogen ke dalam air umumnya melalui
pencemaran tinja.
e. Tanah
: tanah mengandung miroorganisme dapat mengkontaminasi makanan/minuman dengan
cara terikut pada sayuran/buah-buahan terutama yang dipupuk kompos, melalui
makanan/minuman dibungkus kertas/plastik yang terkontaminasi dan lewat
alat-alat makan/minum seperti sendok. Salah satu cara pencemaran air oleh
bakteri dengan jalan penetrasi melalui pori-pori tanah.
2.7. Patogenesis
Patogenesis demam tifoid secara
garis besar terdiri dari 3 proses, yaitu (1) proses invasi kuman S.typhi ke dinding sel epitel usus, (2)
proses kemampuan hidup dalam makrofag dan (3) proses berkembang biaknya kuman
dalam makrofag. Akan tetapi tubuh mempunyai beberapa mekanisme pertahanan untuk
menahan dan membunuh kuman patogen ini, yaitu dengan adanya (1) mekanisme
pertahanan non spesifik di saluran pencernaan, baik secara kimiawi maupun
fisik, dan (2) mekanisme pertahanan spesifik yaitu kekebalan tubuh humoral dan
selular.
Masa
inkubasi penyakit ini rata-rata 7 sampai 14 hari. Manifestasi klinik pada anak
umumnya bervariasi. Demam adalah gejala yang paling utama di antara semua
gejala klinisnya. Pada minggu pertama, tidak ada gejala khas dari penyakit ini.
Bahkan, gejalanya menyerupai penyakit infeksi akut lainnya. Gejala yang muncul
antara lain demam, sering bengong atau tidur melulu, sakit kepala, mual,
muntah, nafsu makan menurun, sakit perut, diare atau justru sembelit (sulit
buang air besar) selama beberapa hari. Peningkatan suhu bertambah setiap hari.
Setelah minggu kedua, gejala bertambah jelas. Demam yang dialami semakin
tinggi, lidah kotor, bibir kering, kembung, penderita terlihat acuh tidak acuh,
dan lain-lain.
S. typhi masuk ketubuh manusia melalui
makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan
sebagian lagi masuk ke usus halus. Setelah mencapai usus, Salmonella typhi menembus ileum
ditangkap oleh sel mononuklear, disusul bakteriemi I. Setelah berkembang biak
di RES, terjadilah bakteriemi II. Interaksi Salmonella
dengan makrofag memunculkan mediator-mediator. Lokal (patch of payer) terjadi
hiperplasi, nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul gejala panas, instabilitas
vaskuler, inisiasi sistem beku darah, depresi sumsum tulang dll. Imunulogi.
Humoral lokal, di usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi mencegah
melekatnya salmonella pada mukosa usus. Humoral sistemik, diproduksi IgM dan
IgG untuk memudahkan fagositosis Salmonella
oleh makrofag. Seluler berfungsi untuk membunuh Salmonella intraseluler
Banyak orang
yang tidak terlihat sakit tapi berpotensi menyebarkan penyakit tifus. Inilah
yang disebut dengan pembawa penyakit tifus. Meski sudah dinyatakan sembuh,
bukan tidak mungkin mantan penderita masih menyimpan bakteri tifus dalam
tubuhnya. Bakteri bisa bertahan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Sebagian
bakteri penyebab tifus ada yang bersembunyi di kantong empedu. Bisa saja
bakteri ini keluar dan bercampur dengan tinja. Bakteri ini dapat menyebar lewat
air seni atau tinja penderita.
2.8. Diagnosis
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada
manifestasi klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang.
Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai
metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan
penderita demam tifoid secara menyeluruh.
2.8.1.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis demam tifoid
pada anak seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang sesuai dengan
patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat
lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah
disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik
panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi
gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit
penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja.
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang
timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam
1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus
atau Pneumococcus daripada S. typhi. Menggigil tidak biasa
didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis
malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian demam tifoid dan
malaria dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang
menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S.
typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis.
Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi,
stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan
apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat
perforasi usus.
2.8.2. Pemeriksaan Laboratorium Penunjang
Pemeriksaan
laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam
empat kelompok, yaitu : (a) pemeriksaan darah tepi; (b) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan
kuman; (c) uji serologis; dan (d) pemeriksaan kuman secara molekuler.
a. Pemeriksaan
Darah Tepi
Pada penderita demam tifoid bisa
didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin
didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit
bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif,
terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa
hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai
sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai
dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya
leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.
b. Identifikasi Kuman Melalui Isolasi/Biakan
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila
ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum
tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan
patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam
urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan
tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya
tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan
meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari
media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.
Kegagalan dalam isolasi/biakan
dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan
antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen
yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.
c. Identifikasi Melalui Uji Serologis
Uji serologis digunakan untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik
terhadap komponen antigen S. typhi
maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji
serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan.4 Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid
ini meliputi : uji Widal; tes TUBEX; metode enzyme immunoassay (EIA), metode
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), dan pemeriksaan dipstik.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan
mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih
didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada
deteksi antigen spesifik S. typhi
oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa,
teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang
digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen
(stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).
c.1. Uji Widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan
rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi
antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami
pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang
ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam
serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan
menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan
dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan
uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi
hasil dari uji hapusan.
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi
kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan
partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas
ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya
ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi
antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes
TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
c.2. Metode Enzyme Immunoassay
Metode Enzyme Immunoassay didasarkan pada metode untuk
melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM
menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap
IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah
endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan
terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan
antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG
total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan
antigen terhadap Ig M spesifik.4
Uji EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan
salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila
dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh
karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.
Dikatakan bahwa Typhidot ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan
bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat
dan akurat.
c.3. Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA
terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S. typhi.
Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam
spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan terhadap
antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi
tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama
sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga
pada kasus dengan Brucellosis.
c.4. Pemeriksaan Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan
di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S.
typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized
sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah
distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat
yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. Uji ini terbukti
mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar
manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil
kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak
tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
c.5. Metode Lain
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi
DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S.
typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi
DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S. typhi.
2.9. Pencegahan
Pencegahan
demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan khusus/imunisasi.
Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan sanitasi karena
perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam tifoid.
(Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan
pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai
transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan.
Vaksinasi
tifoid sangat dianjurkan untuk mencegah penyakit. Vaksinasi harus diperkuat
setiap 3 tahun. Ini karena setelah kurun waktu itu, kekebalan terhadap penyakit
tifus akan berkurang. Umumnya, seusai divaksinasi, tubuh akan kebal, atau
kalupun terkena maka penyakit yang menyerang tidak sampai membahayakan anak
Ada dua
vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin yang diinaktivasi
(kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua adalah vaksin yang
dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Pemberian vaksin
tifoid secara rutin tidak direkomendasikan, vaksin tifoid hanta
direkomendasikan untuk pelancong yang berkunjung ke tempat-tempat yang demam
tifoid sering terjadi, orang yang kontak dengan penderita karier tifoid dan
pekerja laboratorium.
Vaksin
tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada anak-anak
kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena itu
haruslah diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya
memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap
dua tahun untuk orang-orang yang memiliki resiko terjangkit.
Vaksin
tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anak-anak kurang
dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah diperlukan
untuk proteksi. Dosis terakhir harus diberikan sekurang-kurangnya satu minggu
sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis
ulangan diperlukan setiap 5 tahun untuk orang-orang yang masih memiliki resiko
terjangkit.
Ada beberapa
orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus menunggu. Yang
tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi) adalah orang
yang memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka
ia tidak boleh mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh
mendapatkan vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah : orang yang
mengalami reaksi berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh
mendapatkan dosis lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas yang lemah maka
tidak boleh mendapatkan vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin
tifoid yang diinaktifasi, diantara mereka adalah penderita HIV/AIDS atau
penyakit lain yang menyerang sistem imunitas, orang yang sedang mengalami
pengobatan dengan obat-obatan yang mempengaruhi sistem imunitas tubuh semisal
steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita kanker dan orang yang mendapatkan
perawatan kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin tifoid oral tidak
boleh diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian antibiotik.
Suatu
vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem serius
seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan bahaya
serius atau kematian sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua jenis
vaksin tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi
ringan yang dapat terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang per 100), sakit
kepada (sekitar 3 orang per 100) kemerahan atau pembengkakan pada lokasi
injeksi (sekitar 7 orang per 100). Pada vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi
ringan yang dapat terjadi adalah demam atau sakit kepada (5 orang per 100),
perut tidak enak, mual, muntah-muntah atau ruam-ruam (jarang terjadi).
2.10. Pengobatan
Pengobatan
terhadap penderita penyakit demam Tifoid atau types bertujuan menghentikan
invasi kuman, memperpendek perjalanan penyakit, mencegah terjadinya komplikasi,
serta mencegah agar tak kambuh kembali. Pengobatan penyakit tifus dilakukan
dengan jalan mengisolasi penderita dan melakukan desinfeksi pakaian, faeces dan
urine untuk mencegah penularan. Pasien harus berbaring di tempat tidur selama
tiga hari hingga panas turun, kemudian baru boleh duduk, berdiri dan berjalan.
Selain
obat-obatan yang diberikan untuk mengurangi gejala yang timbul seperti demam
dan rasa pusing (Paracetamol), Untuk anak dengan demam tifoid maka
pilihan antibiotika yang utama adalah kloramfenikol selama 10 hari dan
diharapkan terjadi pemberantasan/eradikasi kuman serta waktu perawatan
dipersingkat. Namun beberapa dokter ada yang memilih obat antibiotika lain seperti
ampicillin, trimethoprim-sulfamethoxazole, kotrimoksazol, sefalosporin, dan
ciprofloxacin sesuai kondisi pasien. Demam berlebihan menyebabkan penderita
harus dirawat dan diberikan cairan Infus.
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa :
1.3.4. Patogenesis
demam tifoid secara garis besar terdiri dari 3 proses, yaitu proses invasi
bakteri S.typhi ke dinding sel epitel
usus, proses kemampuan hidup dalam makrofag dan proses berkembang biaknya kuman
dalam makrofag. Demam tifoid dapat ditularkan melalui penderita, carrier, serta
makanan dan minuman yang terkontaminasi S.typhi.
3.1.2.
Gejala yang muncul antara lain demam,
sering bengong atau tidur melulu, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan
menurun, sakit perut, diare atau justru sembelit (sulit buang air besar) selama
beberapa hari.
3.1.3.
Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai
cara yaitu umum dan khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah
peningkatan higiene dan sanitasi, menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa
yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi.
3.2. Saran
3.2.2.
Untuk Dinas Kesehatan
a.
Perlu adanya penyuluhan kesehatan kepada masyarakat
tentang demam tifoid berhubungan dengan higien perorangan.
b.
Perlu dilakukan pemeriksaan kualitas air minum secara
berkala pada masyarakat, terutama pada penjual makanan/minuman kaki lima.
c.
Perlu dibuat pemetaan dan pengawasan terhadap carrier
demam tifoid.
3.2.3.
Untuk Rumah Sakit
Penderita demam tifoid sebelum pulang diberi brosur
atau pengertian tentang penyakitnya dan cara pencegahan agar tidak menularkan
ke orang lain.
3.2.4.
Untuk Masyarakat
Perlu ditingkatkan kegiatan gotong-royong membersihkan
lingkungan sekitar tempat tinggal guna mengurangi vektor lalat.
DAFTAR PUSTAKA
Apiwathnasorn, C, dkk.1990. Report on A Study of Food Practices Kampung Langgar, Kota Baru
Kelantan, Malaysia. University of Queensland.
Behrman, Kliegman, dan Arvin. 1996. Ilmu Kesehatan
Anak Nelson Vol. II E/15, diterjemahkan Sanik Wahab. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Hoffman, S.L, 1991. Typhoid Fever In : Hunter’s Tropical Medicine, Ed. :
Stricland, G.T, 7 th, ed. WB Saunders Co. Philadelphia, Toronto, Tokyo.
Juwono, R. 1987. Demam
Tifoid Ilmu Penyakit dalam Jilid I Soeparman Edisi Kedua. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
Margawani, K.R, Sri Purnomo. 1996. “Epidemiologi
Salmonellosis”. Jurnal Jaringan
Epidemiologi Nasional. No. 2 : 1-8.
Prasetyo, Risky Vitria dan Ismoedijanto.
“Metode Diagnostik Demam Tifoid
Pada Anak”. Pediatrik.
hlm : 3-9.
Punjabi, N.H, 1996. Interaksi Pejamu dengan Salmonella
typhi. Medika. No. 10 tahun XXII :
795-797.
Soedarto. 1993. Penyakit-penyakit
Infeksi di Indonesia. Surabaya : hlm.43-49.
0 komentar:
Posting Komentar